Keajaiban Toleransi di Wihara Pan Kho Bio, Mushola di Balik Altar Buddha
- instagram.com/phankobio_bogor
Bogor – Di tengah hiruk pikuk kota Bogor, tersembunyi sebuah tempat spiritual yang telah berusia lebih dari tiga abad. Wihara Maha Brahma Pan Kho Bio, bukan sekadar tempat ibadah biasa. Ia adalah saksi bisu bagaimana keberagaman dapat hidup berdampingan dalam kedamaian.
Bayangkan sebuah pulau mungil yang terapung di tengah aliran Sungai Ciliwung. Dalam bahasa Sunda, tempat ini disebut "Pulo Geulis" yang berarti pulau cantik. Keindahan yang terpancar dari tempat ini bukan hanya dari segi fisik, melainkan harmoni spiritual yang terjalin di dalamnya.
Sejak tahun 1703, bangunan seluas 400 meter persegi ini telah menjadi rumah bagi berbagai tradisi keagamaan. Yang membuatnya istimewa bukan arsitekturnya yang memukau atau ornamen-ornamen khas Tionghoa yang menghiasi setiap sudutnya, melainkan semangat toleransi yang terus dipertahankan dari generasi ke generasi.
Mushola di Balik Altar Buddha
Inilah yang membuat Wihara Pan Kho Bio begitu unik. Di balik altar utama yang didominasi patung Dewa Pan Kho, dewa tertinggi yang dipuja di tempat ini, tersedia ruang khusus untuk umat Islam melakukan salat. Bukan sekadar ruang kosong, tetapi dilengkapi dengan peralatan salat dan Al-Quran.
Fenomena ini bukan sebuah kebetulan atau sekadar toleransi simbolik. Ada sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Wihara ini dahulu merupakan lokasi peristirahatan Raja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang berdiri pada 1482. Koneksi historis inilah yang membuat komunitas Tionghoa menganggap tempat ini sakral dan layak untuk didirikan wihara.
Jejak Para Penyebar Islam
Yang lebih menarik lagi, di dalam kompleks wihara terdapat makam dan petilasan (tempat bersejarah) dari para tokoh penyebar Islam seperti, Eyang Jayaningrat, Eyang Sakke, dan Eyang Prabu Surya Kencana.
Terdapat juga makam Buyut Gebok yang dipercaya sebagai salah satu panglima terakhir Kerajaan Pajajaran, serta Embah Imam yang dikenal sebagai leluhur penyebar agama Islam pada masa kerajaan tersebut.
Di area belakang wihara, ada dua batu besar yang menandai petilasan Embah Sakee putra Agung Sultan Tirtayasa dari Kerajaan Banten dan Eyang Jayaningrat. Sementara di sisi kanan, terdapat petilasan Eyang Prabu Surya Kencana yang "dijaga" oleh dua patung harimau hitam dan putih yang melambangkan kegagahan dan keberanian dalam filosofi Tionghoa.