Ernest Dezentjé, Pelukis Bogor yang Jadi Sahabat Dekat Bung Karno

Lukisan Panorama Gunung Salak Karya Ernest Dezentjé
Sumber :
  • simonis-buunk.com

2. Charls & Van Es tahun September 1937

Menapaki Gerbang Waktu di Istana Kepresidenan Bogor

3. Expositiezaal F. van Eelde tahun Desember 1939

Lewat pameran-pameran itu, publik Eropa di Hindia Belanda semakin mengenal sosoknya. Tidak sedikit pula karya Dezentjé yang kemudian masuk ke koleksi penting, termasuk di Tropenmuseum Amsterdam dan Museum Adam Malik Jakarta.

Marak Baliho Protes Menteri LH

Ernest dan Kota Bogor

Bagi Ernest Dezentjé, Bogor bukan sekadar tempat tinggal, melainkan bagian dari perjalanan hidup dan cintanya. Salah satu lukisan terkenalnya tentang Bogor adalah Panorama Gunung Salak, seolah menjadi simbol kedekatannya dengan alam kota hujan itu. 

Bambang Pamungkas: Evaluasi Timnas Harus Dilakukan oleh yang Berkompeten

Takdir kemudian membawanya ke Kampung Muara, sebuah perkampungan sederhana tak jauh dari Empang, Pasir Jaya. Di bawah kampung itu, dua sungai besar Cisadane dan Cipinang Gading, bertemu, membentuk sebuah lubuk yang indah dan tenang. Seperti wilayah Bogor tempo dulu, Kampung Muara masih jarang penduduk. Rumah-rumah bambu beratap rumbia berdiri terpencar, menyisakan ruang-ruang luas di antara hamparan hijau.

Di kampung inilah Dezentjé menemukan tambatan hatinya: seorang gadis Sunda bernama Siti Rasmani. Cinta Dezentjé kepada Siti begitu besar, setulus cintanya pada Bogor. Rasa itu bahkan terekam abadi pada nisan istrinya yang bertuliskan: “Di sini dimakamkan istri saya yang tercinta, Siti Rasmani Dezentjé.”

Pasangan ini kemudian menetap di kawasan Bondongan, kini dikenal sebagai Jalan Pahlawan. Rumah yang dulu mereka tinggali kini telah berganti rupa menjadi kantor PT Bostinco. Meski tidak dikaruniai anak kandung, mereka mengangkat keponakan Siti bernama Satria Djupriyani sebagai anak. 

Di bawah bimbingan ayah angkatnya, Satria tumbuh dengan bakat seni yang serupa, meneruskan jejak Dezentjé sebagai pelukis Mooi Indie. Banyak pengamat seni kemudian menyebut Satria sebagai penerus spiritual sang maestro.

Akhir Hayat dan Warisan

Dezentjé meninggal pada 12 Januari 1972 di Jakarta. Namun sesuai keinginannya, ia berwasiat agar dimakamkan di Kampung Muara, tempat dimana jasad istrinya berada. Di sanalah sang maestro beristirahat, menyatu dengan bumi yang pernah mengilhami karya-karyanya.

Kini, meski namanya jarang disebut, lukisan-lukisan Ernest Dezentjé masih tergantung anggun di dinding istana negara. Ia meninggalkan warisan yang tak lekang oleh waktu, wajah Nusantara yang ditangkap dengan cinta, sekaligus kisah persahabatan dengan seorang presiden RI yang juga mencintai seni.