Tunjangan Perumahan DPRD Kabupaten Bogor Tembus Rp27 Miliar, KPK Diminta Turun Tangan

Ruang rapat paripurna DPRD Kabupaten Bogor
Sumber :

Bogor Pemberian tunjangan perumahan untuk anggota DPRD Kabupaten Bogor kembali menuai sorotan tajam. Center for Budget Analysis (CBA) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera turun tangan mengaudit penggunaan anggaran yang dianggap janggal dan berpotensi membebani keuangan daerah.

CBA mencatat, pada tahun 2023 saja, anggaran tunjangan perumahan DPRD Bogor mencapai Rp27,75 miliar.

Jumlah itu dinilai jauh dari kata wajar, apalagi jika dibandingkan dengan kondisi keuangan daerah.
Berdasarkan Peraturan Bupati Bogor Nomor 44 Tahun 2023, besaran tunjangan perumahan per bulan ditetapkan sebagai berikut:
• Ketua DPRD: Rp44,5 juta
• Wakil Ketua DPRD: Rp43,5 juta
Anggota DPRD: Rp38,5 juta

Dengan total 55 anggota DPRD, belanja daerah untuk tunjangan perumahan saja bisa menguras lebih dari Rp25 miliar per tahun. Angka fantastis ini pun memunculkan tanda tanya besar: apakah tunjangan sebesar itu masih sesuai dengan prinsip kewajaran dan kepatutan?

Lebih jauh, CBA juga menemukan kejanggalan lain. Anggaran tunjangan ini masuk kategori “Dikecualikan” dalam metode pengadaan, yang dinilai rawan mengaburkan transparansi serta akuntabilitas penggunaan dana publik.

“Seharusnya, besaran tunjangan menyesuaikan kemampuan keuangan daerah. Jika Kabupaten Bogor tidak masuk kategori daerah berkemampuan tinggi, maka tunjangan sebesar itu jelas melanggar prinsip kepatutan,” tegas CBA.

Sebagai perbandingan, di sejumlah daerah lain, tunjangan perumahan anggota DPRD rata-rata hanya berkisar Rp12 juta hingga Rp15,9 juta per bulan. Artinya, tunjangan di Kabupaten Bogor hampir tiga kali lipat lebih besar.

Atas dasar itulah, CBA mendesak KPK dan BPK melakukan audit menyeluruh terhadap alokasi dan penggunaan tunjangan perumahan DPRD Kabupaten Bogor periode 2019–2024, khususnya yang melibatkan jajaran pimpinan DPRD.

“Publik berhak tahu apakah uang rakyat benar-benar digunakan sesuai aturan, atau justru menjadi ajang bancakan elit politik daerah,” pungkas CBA.