Retrospeksi 35 Tahun Ekowisata & Kritik Prof Ricky Avenzora atas Penyegelan Objek Wisata

Prof. Ricky Avenzora
Sumber :

Bogor, VIVA Bogor – Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan mega-biodiversitas dan budaya

EIGER Luncurkan Website Corporate Purchase, Mudahkan Perusahaan Pesan Produk Outdoor Secara Digital

terbesar di dunia. Dari potensi hayati, geologi, budaya, hingga bahari dan pesisir, negeri ini menyimpan peluang ekowisata yang sangat berlimpah.

Meski demikian, Prof Ricky Avenzora, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, menilai perkembangan pariwisata Indonesia selama beberapa dekade terakhir masih belum optimal dan tertinggal dibandingkan negara tetangga.

Konsisten 4 Tahun, IPB Run Half Marathon Angkat Kembali Inspiring Run For The Earth

“Kita memiliki ratusan gunung berapi, garis pantai panjang, satwa endemik seperti gajah, harimau, dan badak, hingga ribuan spesies burung. Semua ini adalah potensi besar, tetapi yang muncul justru konflik antara satwa liar dan manusia,” ujarnya dalam Konferensi Pers Pra-Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University, Kamis 18 September 2025 lalu.

Dalam paparannya berjudul “Retrospeksi Akademis 35 Tahun Pembangunan Ekowisata di Indonesia”, Prof Ricky, yang akrab disapa Prof Ara, juga menyoroti kekayaan budaya Nusantara. Lebih dari 1.300 etnis, ratusan seni bela diri, permainan tradisional, hingga ribuan folklor masih belum tergarap secara serius.

IPB University Dorong Desa Sempu Kediri Jadi Desa Daulat Pangan

“Penelitian mahasiswa saya di satu kabupaten saja menemukan lebih dari 300 folklor. Bayangkan jika dikalikan dengan 457 kabupaten/kota di Indonesia. Ini bisa menjadi kekuatan besar industri kreatif kita, bahkan menandingi drama Korea,” ungkapnya.

Prof Ara menilai ada tiga masalah utama dalam pembangunan pariwisata Indonesia:

1. Devisa dan jumlah wisatawan masih kalah dari negara tetangga.

2. Potensi alam dan budaya justru banyak yang mengalami kerusakan.

3. Distribusi manfaat pariwisata yang timpang, di mana kelompok menengah ke atas lebih banyak menikmati keuntungan, sementara masyarakat kecil hanya memperoleh “recehan”.

“Rekreasi dan pariwisata tidak boleh hanya dimaknai sebagai kebebasan perjalanan. Harus diubah menjadi perjalanan berkesadaran ilahiah untuk mencari jati diri sekaligus memberi manfaat bagi semesta. Itulah yang disebut ekowisata,” tegasnya.

Di bidang pendidikan, Prof Ara menilai pengembangan pariwisata di Indonesia selama ini terlalu terjebak pada skema vokasional. Akibatnya, kompetensi keilmuan tidak komprehensif, yang berimbas pada lemahnya perencanaan dan buruknya kinerja birokrasi.

Sebagai solusi, ia menawarkan sejumlah langkah, antara lain:

Halaman Selanjutnya
img_title