Takut Menikah Bukan Berarti Tidak Menerima Cinta, Ini Penjelasan Psikologisnya

Ilustrasi Pasangan yang Takut Menikah
Sumber :
  • Ilustrasi

Bogor, VIVA Bogor – Dalam beberapa tahun terakhir, angka pernikahan di Indonesia dilaporkan mengalami penurunan yang signifikan.

6 Fakta Menarik di Balik Pernikahan Amanda Manopo & Kenny Austin

Data Badan Pusat Statistik pada 2023 menunjukkan penurunan sekitar 128.000 pasangan dibandingkan tahun sebelumnya .

Fenomena ini tidak hanya terjadi di dalam negeri, negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang juga mengalami tren serupa.

Perjalanan Bersama: Saat Cinta dan Perbedaan Menjadi Jalan Menuju Keluarga yang Lebih Baik

Di balik angka statistik tersebut, tersembunyi cerita-cerita personal generasi muda yang dilanda keraguan dan ketakutan untuk melangkah ke pelaminan.

Lantas, apa sebenarnya yang menjadi penyebab, dan bagaimana psikologi memandang fenomena ini?

Lingkaran Pergaulan: Kunci Tersembunyi Menuju Kesuksesan, Begini Cara Memperbaikinya

Akar Ketakutan: Lebih dari Sekadar Salah Pilih

Dalam perspektif psikologi, penolakan atau ketakutan untuk menikah, yang sering kali disebut sebagai gamophobia, bukanlah sebuah kelainan, melainkan suatu respons yang dapat dilacak asal-usulnya.

Beberapa faktor pemicu yang umum ditemui adalah:

1.   Trauma dan Penyesalan Masa Lalu:

Pengalaman hubungan yang tidak sehat, seperti merasa dipaksa melakukan hal yang tidak diinginkan, dapat meninggalkan luka mendalam. Perasaan bersalah dan "tidak pantas" untuk dicintai sering kali terbawa hingga dewasa, membuat seseorang menutup diri dari kemungkinan hubungan baru .

2.   Tekanan Sosial dan "Capek Diomongin":

Ironisnya, desakan keluarga dan lingkungan untuk segera menikah justru menjadi bumerang. Menikah hanya karena tekanan, bukan karena kesiapan dan keinginan diri sendiri, berisiko besar melahirkan pernikahan yang tidak bahagia, penuh konflik, dan bahkan berujung pada perceraian .

3.   Kekhawatiran akan Kesehatan Mental:

Banyak anak muda yang kini lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka takut pernikahan justru akan membawa stres, kecemasan, dan mengorbankan ketenangan diri mereka. Kekhawatiran akan konflik rumah tangga yang tidak terselesaikan dengan baik menjadi pertimbangan yang matang sebelum memutuskan berkomitmen .

4.   Ketidaksiapan Mental dan Ekonomi:

Perubahan prioritas dari fokus pada diri sendiri menjadi fokus pada kehidupan bersama dirasakan sebagai beban yang berat. Ditambah dengan tekanan ekonomi yang semakin tinggi, banyak anak muda yang memilih untuk memantapkan karir dan kondisi finansialnya terlebih dahulu .

Dampak dari Menikah dengan Paksaan

Memaksakan diri untuk menikah padahal hati dan pikiran belum siap dapat membawa konsekuensi serius, baik bagi individu maupun keluarga yang dibangun. Berikut adalah beberapa dampak buruk yang mungkin terjadi :

1.   Perasaan Tidak Bahagia

Pernikahan tanpa cinta dan komitmen kuat hanya akan menciptakan kehidupan rumah tangga yang terasa seperti beban.

2.   Gangguan Kesehatan Mental

Stres berkelanjutan dalam pernikahan yang dipaksakan dapat memicu kondisi yang lebih serius seperti depresi dan kecemasan.

3.   Rentan terhadap Perceraian

Pernikahan yang tidak dilandasi komitmen kuat memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk berakhir di pengadilan.

4.   Menyulitkan Anak-Anak

Jika memiliki anak, anak-anak dapat menjadi korban yang paling dirugikan, menghadapi gangguan perkembangan emosional dan psikologis.

Berdamai dengan Ketakutan dan Melangkah ke Depan

Lalu, bagaimana mengatasi rasa takut ini? Psikologi menawarkan beberapa cara untuk berdamai dengan diri sendiri:

  • Melakukan Self-Talk:

Inner critic atau suara kritik dalam diri sering kali menjadi biang kerok. Lawanlah dengan self-talk positif. Ucapkan kalimat seperti, "Aku berharga, banyak orang yang menyayangiku, aku harus semangat!" untuk membangun kembali kepercayaan diri yang terkikis .

  • Belajar Menerima dan Melepaskan:

Berdamai dengan masa lalu dan menerima pengalaman sebagai bagian dari hidup tanpa terus menyalahkan diri adalah langkah besar menuju pemulihan. Latihan mindfulness dan menyadari setiap napas dapat membantu proses penerimaan ini .

  • Memperkuat Kesiapan Spiritual:

Kesiapan menikah tidak hanya soal fisik dan ekonomi, tetapi juga spiritual. Edukasi kesehatan spiritual sebelum menikah terbukti dapat meningkatkan kematangan individu dalam mempersiapkan rumah tangga yang harmonis .

Pada akhirnya, keputusan untuk menikah adalah komitmen seumur hidup yang harus diambil dengan penuh kesadaran dan pertimbangan.

"Bukan takut nikahnya, tapi takut salah pilih soalnya mauku seumur hidup sampai mati, bukan yang seumur hidup bikin aku mau mati," demikian ungkapan yang viral di media sosial, menggambarkan keresahan generasi muda saat ini .

Ketakutan untuk menikah bukanlah aib. Justru, dengan memahami akar permasalahannya, seseorang dapat mengambil keputusan yang lebih bijaksana, apakah ia akan terus menghindar atau justru memulai proses penyembuhan untuk suatu saat membangun keluarga yang benar-benar diimpikan.