“Takut Jadi Kaya, Padahal Islam Tak Melarang: Ini Makna Sejati Hidup Sederhana dalam Pandangan Rasulullah”
- Ilustrasi
Bogor, VIVA Bogor – Di tengah dunia yang sibuk mengejar angka, harta, dan popularitas, masih banyak Muslim yang berkata dengan nada pasrah, “Saya nggak mau kaya, nanti malah lalai.” Kalimat itu terdengar rendah hati. Tapi benarkah Islam mengajarkan umatnya untuk sengaja memilih miskin? Ataukah ada makna yang lebih dalam di balik pilihan hidup sederhana itu?
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak umat Islam yang merasa cukup bahkan bangga dengan kesederhanaannya. Ada pula yang berprinsip “miskin tapi selamat” ketimbang “kaya tapi lalai.”
Namun, bila kita menelusuri ajaran Islam lebih dalam, Rasulullah SAW justru mengajarkan keseimbangan: bahwa kekayaan dan kemiskinan sama-sama ujian, bukan ukuran kemuliaan.
Sebuah kisah menarik diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar RA. Ia bercerita bahwa orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin pernah mengadu kepada Rasulullah SAW tentang kelebihan yang dimiliki orang-orang kaya.
Mereka berkata, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya bisa bersedekah, berhaji, dan berinfak lebih banyak dari kami.”
Mendengar itu, Rasulullah SAW tersenyum lalu bersabda:
“Wahai orang-orang miskin, maukah kuberikan kabar gembira kepada kalian? Sungguh, orang-orang beriman yang fakir kelak akan masuk surga terlebih dahulu setengah hari yang setara 500 tahun lamanya daripada orang kaya.” (HR. Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, dengan lafal “al-muslimin”)
Hadis ini sering disalahpahami seolah-olah kemiskinan lebih utama daripada kekayaan. Padahal, menurut Imam An-Nawawi, “orang miskin” yang dimaksud bukan sembarang orang yang tidak punya, tetapi mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya namun tetap sabar, menjaga iman, dan tidak melakukan dosa besar.
Mereka tidak mengeluh, tidak iri, tidak putus asa, dan tidak menghalalkan segala cara demi bertahan hidup. Dalam keterbatasan, mereka tetap percaya bahwa Allah Maha Cukup.
Artinya, kemuliaan itu bukan karena miskinnya, tapi karena kesabarannya. Karena bisa saja orang miskin tetap sombong, dan orang kaya justru rendah hati. Islam tidak menilai isi dompet, tapi isi hati.
Rasulullah SAW sendiri adalah pedagang sukses. Begitu juga sahabat-sahabatnya seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan, keduanya sangat kaya, tapi kekayaannya digunakan untuk menolong umat dan memperkuat dakwah.
Islam sama sekali tidak menganjurkan stagnasi atau menyerah pada kemiskinan. Memilih hidup pasrah karena takut salah bukanlah sikap yang ideal, apalagi jika masih ada peluang untuk belajar, bekerja, dan berbuat produktif secara halal. Islam menempatkan usaha sebagai bagian dari iman.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Ra’d: 11:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Ayat ini menegaskan: kemiskinan atau kekayaan adalah kondisi yang bisa berubah dengan ikhtiar. Allah tidak memuji kemalasan dan tidak menolak kerja keras yang jujur. Kaya bukan berarti lalai, miskin pun bukan tanda rendah. Yang penting adalah keseimbangan, antara dunia dan akhirat.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Kahfi: 46:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal saleh yang kekal lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu.”
Jadi, jangan bangga hanya karena miskin, dan jangan pula malu karena kaya. Yang dinilai Allah bukan seberapa banyak harta yang kita miliki, tetapi seberapa bersih hati kita dalam menjaganya.
Syukur saat lapang, sabar saat sempit, itulah keseimbangan hidup yang diajarkan Islam.
Wallaahu'alam.